Friday, December 31, 2010

364

Masihkah kau bersamaku esok dan 364 hari berikutnya?

31 Desember 2010

Catatan kecil in sengaja kugoreskan, untuk menggambarkan betapa apatisnya malam ini aku terhadap dunia luar. Dalam hitungan 3 jam, Indonesia akan bersorak menyambut pergantian angka 10 ke angka 11, setidaknya begitu menurut waktu Indonesia bagian barat. Aku berada dalam sebuah pikiran yang kedap dari intrik dan intervensi. Aku bergelut dengan kesendirian ini. Meski banyak yang berpikir caraku menghabiskan malam tahun baru dengan mengurung diri seperti ini adalah cara yang menyedihkan bagi remaja seusiaku. Tapi, inilah aku. Aku mencintai sepi, atau mungkin ia yang mencintaiku.

Tiada pemandangan yang lazim, aku biasa mendongakkan leherku ke awan untuk melihat bagaimana petasan dan kembang api membuat gerakan aduhai sehingga membuat banyak orang berdecak kagum seperti anak kecil melihat mainan baru. Hitungan mundur, berteriak bersama khalayak, berdebar menanti jam berubah menjadi angka 00.00 juga tidak. Hal tersebut mungkin menjadi hal yang mewah bagiku di tahun-tahun sebelumnya, tapi tidak kali ini. Keluarga. Ya, kata yang satu ini begitu sakral untuk kunasbihkan dalam sebuah tulisan, sebab mereka tidak perlu aku urai sebagai bagian yang prinsipal, mereka lebih dari segalanya. Dalam sejarah perjalanan hidupku, belum pernah aku menghabiskan malam pergantian tahun bersama mereka, entah mengapa. Yang jelas kami bahagia hidup sebagai satu unit yang saling membutuhkan dan saling menyayangi satu sama lain meski sosok masing-masing kami terpisah jarak dan waktu. Untuk itu, dengan berat hati harus aku ucapkan, aku sayang kalian.
Aneh malam ini begitu dingin, sebeku pemikiranku bahwa malam ini adalah malam yang biasa. Pergantian tanggal dan tahun adalah sesuatu yang telah berlangsung berabad-abad sejak Nebukadnezar hidup hingga saat ini dimana Nurdin Halid dirongrong publik untuk mundur. (Entah mengapa aku tergerak untuk menulis ini). Pendiriannya juga pasti lebih beku dari pemikiranku, bahkan pendiriannya lebih kuat dari siapapun yang ada di negara ini, siapa yang tahu. Aku malas menulis tentang dirinya, tidak sudi waktuku habis hanya untuk menceritakan betapa nistanya makhluk tersebut. Maaf jika gaya berbicaraku ini mirip seperti sedang menghakimi, tapi begitulah adanya.

Teman, tentu aku memilikinya. Banyak. Tapi mereka merasa menghabiskan malam ini dengan bersukacita, berfoya-foya adalah hal yang jauh lebih enak didengar dibanding mengurung diri di kamar dan hanya menulis cerita ini. Tidak semua temanku berpikiran seperti itu tentu, lagipula apa urusan mereka mengatur dimana aku harus menghabiskan malam ini. Ada saat dimana kita bisa tidak sependapat. Bukan suatu hal yang istimewa. Berbicara mengenai teman, hari ini merupakan hari terakhirku sebagai mahasiswa semester 5, yang artinya membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk bertemu rekan sejawatku, aku merindukan mereka. Aku menyadari itu. Waktu-waktu dimana kita biasa berangkulan dalam kesulitan, terbahak bersama saat gembira, dalam waktu perkuliahan setidaknya aku tidak pernah merasa kesepian. Mungkin mereka tidak akan membaca ini, atau mungkin juga membacanya, itu hak mereka, yang jelas kalian telah menjadi orang yang membuatku belajar mempelajari hidup. Kalian terlalu berharga. Selamat berjuang demi masa depan.

Ah, aku hampir lupa. Aku juga memiliki kekasih, kalian (mungkin) tahu akan hal ini. Ia tidak berada disini, di sampingku tepat. Ia jauh dari jangkauanku. Sedih menjadi kata yang lazim untuk kau predikatkan kepadaku. Beberapa jam ini aku merasa tengah menjadi pribadi yang menyebalkan baginya, dengan menjadi seorang yang posesif, cara bertindak yang sebenarnya aku juga tidak suka. Aku hanya sedang rindu, rindu sekali, kangen sekali sosoknya, yang entah hangat ataupun dingin, cantik maupun jelek, jenius atau bodoh, yang jelas aku hanya ingin dia. Sesuatu yang hanya dapat diwujudkan dengan pintu kemana saja milik kucing gendut negeri Sakura dari abad sekian itu. Seperti itulah kata yang mampu aku gambarkan. Berada dalam perasaan rindu yang begitu mencekik namun tiada yang dapat dilakukan untuk mengobati rasa rindu tersebut, secara signifikan. Aku rindu dimana kita mampu menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan melakukan hal-hal bodoh dan tidak penting. Aku suka cara itu. Aku selalu suka dan kuharap kau juga. Mungkin suatu hari nanti kita bahkan mampu melewati tahun-tahun baru bersama secara rutin. Hanya Tuhan yang tahu.

60 menit lagi tahun akan berganti. Malam tahun baru yang indah menurutku, setidaknya begitu.

Saturday, December 4, 2010

Kata Cinta

Aku akan tetap mencintaimu. Aku tahu kau akan selalu tahu itu. Jika cinta adalah sebuah kalimat biasa, yang tidak terasa magisnya, aku minta maaf. Karena hanya itu yang dapat kusampaikan. Aku akan selalu mencintaimu.

Andai saja aku mengetahui bahwa diluar sana ada banyak kata yang mampu menggambarkan perasaanku kepadamu, pasti akan aku sampaikan. Ini janjiku. Entah kepada siapa

Sunday, November 7, 2010

Jogjaku Sayang, Jogjaku Malang

Suatu pagi ketika gunung itu terbangun dari mimpinya
Tiba - tiba ia muntah begitu saja
Terbanglah partikel dari arah yang tak dinyana
Menuju arah yang tak disangka

"Mari kita berpindah
Kota ini tiada lagi indah"
Warga Jogja berujar demikian
Meski kota lain juga tidak aman


Saturday, November 6, 2010

Bantuan

Dari kejauhan ia tersenyum. Meski memiliki segenap kekuatan untuk mencegahnya, ia tidak memulai melakukannya. Ia belum beranjak, meski aku tahu matanya masih terbelalak dan jantungnya tiada akan pernah berhenti berdetak. Ada apa? Ia telah memiliki segalanya, tapi ia belum juga mengambil tindakan untuk mencegah hiruk pikuk di sudut kota itu. Bukan rahasia lagi, sosoknya yang dingin telah memberi pandangan negatif bagi sekitar. Sombong, angkuh, tidak peka, dan kata-kata cacian lain yang sesungguhnya tidak memberi efek apa-apa untuknya. Sekali lagi, ia memiliki segalanya. Entah apa yang membuatnya tidak melakukan gerakan atau tindakan atau bahkan jika dibutuhkan, bantuan untuk membantu pekikan massa yang sudah sejak tadi merongrong di tepian kota.

Nafas - nafas itu hampir habis ketika ia (akhirnya) memberi bantuan kepada massa yang telah sejak lama menantikannya. "Apa yang ada di pikiranmu sehingga engkau baru tergerak di kala urat di leher dan kening kami mengencang? Apa?", begitu kira - kira teriakan dari seorang yang menganggap dirinya sesepuh di kota yang tengah dirundung bala tersebut. Seperti biasa, ia hanya tersenyum, memandang dingin yang terjadi, meski situasinya menuntut ia berbuat dari sekedar itu. Itulah dia, yang begitu adanya, siapa yang bisa merubah pendirian seseorang.

Situasi semakin keos, massa semakin menuntutnya berbuat sesuatu yang sekiranya mampu memberi efek tenang bagi mereka. Ia sekali lagi merunduk untuk memberi secercah harapan bagi massa yang sudah di ambang derita. Entah ada angin apa yang membuatnya berbuat demikian, tapi yang jelas ini sangat melegakan, begitu melegakan, terasa betul kali ini apa yang ia perbuat mampu menenangkan keadaan. Semua menghela nafas lega. Hiruk pikuk, euforia, haru biru berbaur, berintegrasi.

Ia masih tersenyum. Singgasananya tiada bergeming sedikit pun. Sudah kukatakan, ia memiliki segalanya. "Beginilah caraku bekerja."

Wednesday, October 27, 2010

Banjir Senin Sore

Warga Jakarta bertanya, "Ini air milik siapa?"
Sesaat mereka meratapi tanah ibukota yang menjadi samudera

Warga Jakarta bertanya, "Ini air datangnya dari mana?"
Sang ahlinya pun bertanya hal yang sama

Jadi siapa yang sebenarnya ahli, siapa yang punya kuasa, dan siapa yang punya ini semua?

Friday, September 10, 2010

Rindu Yang Menggebu

Kudengar rindu yang menggebu
Seperti angin semilir di pegunungan
Meronta dalam keheningan kalbu
Menunggu datangnya kecupan dan pelukan

Monday, September 6, 2010

Yakinilah

Rapat sudah semua jari kaki kita
Sesaat lagi kita akan bertolak menuju alam kedap masa
Arsy, begitulah Ia lebih suka menyebutnya
Suatu tempat yang (katanya) singgasana

Sebenarnya tidak sejauh itu kita pergi, hanya saja kita harus meyakininya

Malam semakin larut
Ketika sayap-sayap suci itu berkilau turun ke bumi
"Ini adalah malam ganjil"
Lalu suasana begitu senyap dan hening

Sebenarnya tidak sehening itu, hanya saja kita harus meyakininya

Semakin jauh ia melangkah
Harapanku mulai patah
"Mengapa begitu cepat?", kita bertanya
"Begitulah waktu jika telah mendekati kiamat"

Sebenarnya tidak sedekat itu, hanya saja kita harus meyakininya

Ramadhan akan pergi
Di saat umurku tiada pasti
Makhluk bumi saling meratapi
"Aku belum tahu apakah akan kembali", ujarnya

Sebenarnya tidak sesedih itu, hanya saja kita harus meyakininya

Saturday, August 28, 2010

Keterlaluan

Saat gendang telingamu tertutup
Ada bising yang hendak menyusup
Maaf, itulah rinduku
Aku tidak pernah mengajarinya berbuat keterlaluan begitu

Wednesday, August 25, 2010

26 Agustus 2010

Mungkin engkau saat ini tengah berada di kerumunan lelap
Saat senyum masamku coba menggapai
Hampa di hari yang membuat jantungku berderap
Semoga cinta kita tidak usang meski jarak melerai

1 :)

Wednesday, August 11, 2010

Sajak Kerinduanku

Kuharap kau membaca ini dengan jiwa yang tegar
Sebab pada jarak yang membentang lebar
Terdapat kata rinduku di setiap timbunan tawamu
Pada rindangnya perasaan yang bersemayam di sekujur nafasmu

Sudah kusepakati, bahwa mimik yang berkomat-kamit dengan perasaan yang melilit,
akan mengarah pada satu perintah
Rinduku, segala gusarku, dan segala waktu yang aku lewatkan bersamamu
Akan menjelangmu kala ufuk berlayar
Lalu akan kuantarkan langkah-langkah gontai itu menuju peraduan yang tak terjamah

Tentang kelembutan di setiap perjumpaan itu
Aku telah meminta malaikat untuk menjaganya (kuharap ia menyetujuinya)
Sehingga kelak jika ia mencair menjadi taburan kekecewaan
Ia akan kembali membentuk sebuah bangunan dengan kemegahan

Hujani perasaanmu dengan kebahagiaan
Karena aku akan berada, tepat disisimu, kelak
Jika Tuhan memberi kelapangan
Pada cinta yang semakin beranjak

Friday, August 6, 2010

Sandaran

Kau akan memujaku, ketika punggungku hilang ditelan tikungan
Setiap sandaran pada bahuku adalah surga
Bagimu, yang merasakan
Karena tidak ada yang lebih indah dari jatuh cinta

Hari Yang Akan Kukenang

Rinduku padamu tidak dibuat dalam sekejap mata
Aku menunggu balutan-balutan asmara itu mulai menggerutu
Diatasmu, terkapar sebuah pesona
Yang mampu memicingkan setiap sudut hatiku

Setiap yang terlintas di benakku adalah langkahmu
Dan senyummu
Juga waktu yang aku nasbihkan bersamamu
Pada semua waktu yang tidak pernah terasa jemu

Tapi pada suatu malam
Dikala perpisahan berada di ujung dahan
Aku merasa tenggelam begitu dalam
Suatu takjub yang tidak terkalahkan

Hujan yang tinggal sisa
Sedikit masih dapat kurasa
Mengguyur kepulangan
Kekasih pujaan

Dan hari ini akan menjadi hari yang akan akan dikenang, aku berharap

Saturday, July 31, 2010

Piano

Dentuman piano itu berdengung nyaring di ruas telingaku
Langkah pasti jari-jarinya
Berloncatan diantara tuts hitam putih tanpa terburu-buru
Mencipta suatu karangan nada yang tiada tara

Bagi siapa yang mencerna, akan lemah dibuatnya
Ah, ternyata aku juga

Tuesday, July 27, 2010

Antara Bintaro dan Jakarta

Stasiun Manggarai adalah tempat yang begitu kukenal. Salah satu stasiun yang memiliki aktifitas terpadat di lalu lintas perkeretaapian ibukota negara. Aku terbiasa melintasi stasiun ini pada bulan-bulan perkuliahanku berlangsung, yakni antara Februari hingga Mei dan September hingga Desember, karena memang jalur yang kulewati adalah Jakarta - Pasar Minggu - Depok.

Aku memang telah fasih akan jalur Jakarta - Pasar Minggu -Depok, namun ketika aku hendak menggunakan jalur lain, yakni semisal Tanah Abang atau Jatinegara atau mungkin Bekasi, belum pernah sekalipun aku merasakan berada di atas kereta yang membawa ke jalur-jalur lain tersebut. Tujuanku hari itu adalah jurusan Serpong. Namun, sesampainya di stasiun aku hanya mampu tertegun karena ternyata aku datang di jam yang salah. Pasalnya, kereta untuk jurusan Serpong mempunyai waktu keberangkatan tertentu dan hanya beberapa kereta yang berangkat ke arah sana. Pukul 10.00 kala itu, dan kereta pertama hari itu telah berangkat pukul 07.30, sedangkan kereta berikutnya akan melayani perjalanan penumpang pada pukul 13.00. Miris.

Setelah lama berdebat dengan penjual karcis, kuputuskan untuk membeli tiket kereta ekonomi AC jurusan Tanah Abang, yang kemudian dari sana aku dapat melanjutkan perjalananku ke Serpong. Kereta itu akan tiba pada pukul sebelas kurang, penjual karcis itu menambahkan sebelum aku hendak berpaling dari loket karcis. Maka waktu yang hampir 60 menit itu aku gunakan untuk membaca buku Kahlil Gibran yang berjudul Jiwa-Jiwa Pemberontak. Sebuah buku pemberian temanku. Karena gaya penulisannya yang begitu berat menurutku, aku hanya membacanya setiap 5 menit, lalu di waktu-waktu aku membiarkan buku itu melongo, aku melihat sekelilingku. Pemandangan yang tidak pernah berubah, ujarku dalam hati. Telah 2 tahun lamanya aku menghabiskan waktu melewati stasiun Manggarai yang memiliki total 6 peron, namun aku tidak pernah melihat berkurangnya jumlah pedagang asongan yang berjualan di sekitar stasiun. Hidup di ibukota memang sulit, terlebih menghidupi sanak keluarga.

Setelah 60 menit berlalu, kereta jurusan Tanah Abang yang dijanjikan datang oleh petugas penjual karcis akhirnya datang juga. Karena ragu, aku putuskan untuk bertanya kepada salah satu bapak penumpang yang kebetulan bergelantungan di pintu kereta sesaat kereta berhenti. "Apakah benar ini kereta jurusan Tanah Abang?", tanyaku. Setelah bapak tersebut mengiyakan pertanyaanku, maka aku segera mengambil tempat duduk di samping seorang petugas pengawas kereta, sehingga aku dapat lebih menggali informasi mengenai kereta. Bapak penumpang yang aku tanyakan itu ternyata ramah juga, ia menawariku permen karet. Lumayan juga, pikirku, yang sedang dilanda tegang bukan main karena ini adalah perjalanan pertamaku menggunakan kereta ke Tanah Abang. Sekitar 20 menit kereta itu mencapai tujuan. Sesampainya di Tanah Abang, aku diberitahu oleh bapak tadi untuk segera mungkin menggunakan kereta ekonomi yang terlihat di peron seberang, karena kereta itu akan segera berangkat menuju Serpong. Lalu aku melompati 2 peron layaknya seorang Yamakasi hingga sampai di kereta ekonomi yang kulihat masih sepi penumpangnya.

Aku berbincang dengan seorang penjaja koran. Ia terlihat bersahabat, ujarku dalam hati. Aku putuskan untuk membeli harian olahraga yang sebetulnya aku pun sudah tahu segala berita yang tertulis di koran tersebut, aku membeli korannya dengan maksud menggali informasi mengenai tujuanku. Menurut informasi dari temanku, aku harus turun di stasiun Pondok Ranji jika ingin mencapai sektor 3 Bintaro lebih dekat. Hanya 4 stasiun sejak kereta itu bertolak dari Tanah Abang, aku sudah mendarat di stasiun Pondok Ranji. Stasiun yang aneh. Kuperkirakan stasiun ini hanyalah stasiun bayangan, sebab bangunannya yang begitu amburadul, dapat aku katakan, jarak yang terlalu sempit antara kereta dengan peron membuat aku semakin tidak yakin apakah aku telah berhenti di stasiun yang benar. Setelah membuang pandanganku ke penjuru stasiun akhirnya aku menemukann plang bertuliskan "Pondok Ranji" yang terlihat begitu kusam namun tetap dapat terlihat.

Aku melanjutkan perjalanan "yang sesungguhnya". Inilah pertama kalinya aku menjejakkan kaki di Bintaro, kota yang banyak dibilang sebagai kota metropolitan tersendiri. Aku rasa ketika itu udara sedang pada puncaknya, hingga aku harus mengeluarkan sepotong handuk dari tasku untuk mengusap derasnya air keringat. Aku berkelana mencari alamat rumah yang kutuju, menyusuri teriknya Bintaro sebatang kara, sesekali aku berhenti membeli minuman ringan di pedagang asongan yang berjualan di sepanjang jalan raya. Aku terus mengitari alamat yang hendak kutuju hingga menghabiskan waktu untuk tersasar ke arah sebaliknya. Jika bukan karena cinta, tidak akan kuperjuangkan hingga sejauh ini, aku sempat mengeluh di dalam hati.

Hampir 20 menit kuhabiskan untuk berputar-putar di arah yang sama, hingga aku harus meneleponnya untuk memastikan langkah yang aku ambil berikutnya tidak salah. Tujuan itu hampir sampai, ketika aku bertanya kepada seorang security di perempatan jalan, jawabannya meyakinkan, ujarku dalam hati. "Ikuti ujung jalan ini, setelah itu belok kanan, jika bertemu perempatan, beloklah ke kiri", security itu menjelaskan dengan jelas dan detil, sehingga tidak sampai 10 menit aku telah berada di tujuanku. Sebelumnya aku belum jelaskan. Tujuanku menjangkau jarak sejauh ini adalah aku ingin menjumpai seorang wanita, atau lebih cocok disebut dengan gadis. Ya, gadis ini adalah teman lamaku, seorang gadis yang baru saja menanggalkan masa-masa indahnya duduk di sekolah menengah atas, dan akan melanjutkan kuliahnya di perguruan tinggi di kota pelajar, Yogyakarta. Sekitar 1 bulan terakhir kita berhubungan dengan intensif, kita saling memberi kabar satu sama lain, hampir dikatakan berhubungan dengannya adalah bagian dari rutinitasku. Hari itu aku menyambangi rumahnya, hal yang membuat bulu kuduku merinding, yang selalu membuat aliran darah ke jantung semakin cepat adalah bertemu dengannya, entah mengapa. Aku menunggunya keluar sampai 5 atau menit. Sejenak aku duduk di bawah pohon, setelah berkutat dengan lika-liku jalan yang membingunganku, akhirnya untuk beberapa saat aku dapat merenggangkan otot-otot.

Hari itu, mungkin adalah hari yang segalanya terjadi di luar dugaan. Bahkan, aku pun masih belum percaya aku mampu meraih jarak yang begitu panjang terbentang dari Jakarta hingga Bintaro. Seakan aku telah bergerak tanpa tedeng aling. Lalu tak lama kau muncul dari balik pagar rumahmu membukakan pintu masuk untukku.

Selebihnya, hal-hal yang terjadi antara aku dengannya biarlah menjadi rahasia. Bukan berarti aku melakukan hal-hal yang seronok, tapi aku ingin menjaga cerita antara aku dengannya berada di tempat yang seharusnya. Aku akhirnya bertolak meninggalkan sejuta perasaan grogi dari rumah itu, meninggalkan ribuan senyum dan kebahagiaan yang aku habiskan dengannya. Tidak pernah terhenti bibirku melukiskan senyum. Jantungku pun belum jua berhenti bergemuruh mengingat hal-hal yang aku lewatkan dengannya. Perjuanganku mendapatkan bayaran yang setimpal, aku pulang ke Jakarta dengan membawa cinta...

Tuesday, July 20, 2010

Janji Yang Kelak Kita Ucapkan

Meski akhirnya kita berdua tersenyum, di lain persimpangan
Aku masih menunggu datangnya waktu
Agar ia menyatakan setuju
Pada janji-janji yang kelak kita akan ucapkan

Gambar-gambar darimu datang lagi
Aku tak sanggup melanjutkan sajak ini

Sunday, July 18, 2010

Lilin Cinta

Andai saja kau sanggup mendengar degup jantungku, gugup perasaanku, kau mungkin sudah terbelah-belah menjadi kepingan jiwa yang terbakar lilin-lilin cinta

Dan andai engkau adalah lilin-lilin cinta, aku akan sangat berbangga hati menjadi sumbunya
Aku akan bakar seluruh ruang hati yang masih padam



Thursday, July 8, 2010

Catatan Kecil Untuk Tuhan

Izinkan aku menjadi pendosa yang meronta-ronta
Mirip sekali dengan ucapan yang terbata-bata
Ingin kurangkai kata agar lebih bermakna
Tuhan pun tidak kesulitan membaca

Wednesday, June 30, 2010

Bulan Ketujuh 2010

Akhirnya aku menjejak di bulan ketujuh
Setengah tahun sudah jauh kukayuh
Dari yang awalnya hening
Hingga masuk ke dalam suasana yang bising

Di bulan ketujuh, ibu-ibu akan sibuk ke tukang gadai
Anak pertama, anak kedua, anak ketiga harus tetap belajar
Inflasi terus melambung, harga-harga terbengkalai
Naik sesukanya tanpa tertatar

Dan masih banyak lagi cerita di bulan ketujuh
Lalu aku
Aku menjaja cinta dengan peluh
Senang, riang aku selalu mengelu

Aku tidak sedang ingin bersajak
Namun hatiku membuatku bergejolak
Merangkai kata di pagi hari mungkin begitu enak
Meski hasilnya seperti ini, bagai bui berserak

Sendu-sendu udara pagi yang sejuk
Terus saja mendorongku berbuat seperti ini
Aku seperti tidak sadar, terbuai ke dalam sebuah biduk
Ramai betul hingar bingar kota yang menjadi-jadi

Dan memang benar aku, kamu, dan kita semua telah sampai di bulan ketujuh
Adakah cinta itu kembali kureguk?
Tanya saja pada angin pagi yang begitu sejuk
Yang jelas, aku begitu cinta pada kedamaian yang berhembus sejak tadi Subuh

Tuesday, June 29, 2010

Memikirkanmu

Dan aku akan segera rindu padamu
Kala waktu telah membuatmu jemu
Dan aku akan segera memikirkanmu
Ketika langkah kita terpisah hingga beribu

Aku ingat dini hari itu kala aku terjaga
Tiada sehelai nyawa di perantara
Memikirkanmu adalah yang harus aku kerjakan
Berikutnya dan berkelanjutan

2 jam lagi sebelum kau bertolak
Masih ingatkah kau akan hari kita yang begitu acak?
Tapi aku masih ingin kau
Ingin sekali ada engkau

Saturday, June 19, 2010

Malam Hanya Sementara

Malam hanya sementara
Ia akan terlelap ketika menemu fajar
Segala ironinya akan tenggelam begitu saja
Ketika melihat ada secercah sinar

Malam hanya sementara
Kita berpikir hanya untuk dunia fana
Meski akhirat tiada kenal masa
Kita tiada berbuat apa-apa

Tidak Ingin Bertemu atau Ingin

Seorang anak lelaki itu sibuk akhir-akhir ini
Ia terlihat sedang memahat sesuatu saat dipergoki orang tuanya
Dan ia tak peduli meski apa yang dipahatnya mendapat cerca
Aku akan terus berjalan, tegasnya seraya menghapus peluh

Ia mendambakan seseorang yang tiada ia pernah jumpai sebelumnya
Ia pun bertanya-tanya mengapa ia kerap mendambakannya mesti tak pernah bertukar pandangan
Cinta itu buta, suatu anekdot lama yang ia tetap pegang

Ia hanya ingin meyakinkan dirinya, bahwa suatu mimpi hanya akan jadi kenyataan jika ia mempunyai kemauan untuk merealisasikannya
Seperti hujan yang berkasih dengan pelangi, romantis
Gerutunya tak cukup, hanya gerak yang membuatnya tenang

Dan ia ingin bertemu dengannya, ingin sekali
Rindunya tidak tertahan
Yang berdebar tiap malam, kerap mengganggu
Aku harus, harus, ia dengan tegas mengutarakannya

Lagi, waktu menjumpanya di saat yang tidak tepat
Atau hanya dalam mimpinya ia sedang berpacu dengan waktu?

Tapi ia masih ingin bertemu dengan pujaan hatinya

Tuesday, June 8, 2010

Abstrak

Dan aku tak tahu apa yang harus aku rangkai
Aku sedang menyaksikan kalimat yang telah kurangkai berhamburan
Entah kemana, entah mengapa
Momenku mulai habis ketika jendela-jendela abstrak ini datang berantai

Tuesday, June 1, 2010

Hujan, Nikmat

1 Juni. Pukul 20.08.
iTunes menunjukkan lagu Efek Rumah Kaca dengan judul Desember
Hujan mengguyur ibukota, atau (mungkin) seluruh Indonesia
Ia datang, keluarkan segenap pesona

Di rumah, aku menikmati setiap nafasmu
Berdentingan dari tiap ruas genting
Meski suara televisi harus ku putar hingga ia menggerutu
Namun hujan tetap tegar dan berdendang

Awan beriringan pergi
Tiada lagi malam pucat pasi
Gelap dan pekat
Malam 1 Juni 2010 begitu nikmat

Friday, May 28, 2010

Demi Satu Nama

Malam bersaji bulan bintang
Kuning, kecil, namun loyal begitulah mereka
Awan menjadi merah ketika ingin merah
Dan ditumpahkannya hujan ke bumi
Malam berkawan dengan sepi
Hanya ada obor yang ditinggal warga di sebuah gang sempit
Nyamuk ditebar malaikat
Mencari rezekinya, menuju penjuru

Demi satu nama
Aku ingin lebih dekat dengan-Mu
Ketika malam sudah bosan dan mulai terlelap
Bergantilah ia menjadi dini hari
Dan siap berganti

Thursday, May 13, 2010

Hujan dan Awan

Satu hal yang menghilang saat kau hadir :
Awan

Dan ia pergi begitu saja, tanpa pesan
Lalu kembali seenaknya, tanpa melihat sekeliling


Tuesday, May 11, 2010

Reformasi Dipuja Bak Tuhan

Mahasiswa meronta meneriakkan aksi
Dwifungsi tiada lagi bergigi
Malaikat maut berjejal di Semanggi
Tiada ragu meski pucat pasi

Penguasa dipaksa lengser
Setelah bertahun bertengger
Kroninya habis dibasmi
Si bungsu kini mendekam di bui

Hak azasi bergentayangan
mempertanyakan jawaban, kepastian
Aku tidak akan sebut namanya
Karena hanya akan membuat kita bertanya

Siapa lagi belum diungkit
Dari kenangan yang tiap tahun selalu bangkit
12 tahun reformasi diagungkan
Dipuja bak Tuhan

Tapi, dasar negeri para bedebah
Kisah anak cucu tentang korupsi, kolusi, nepotisme masih saja berkembang biak
Arah tiada lagi bisa dijarah
Meski nasib kini telah mendesak



-12 Mei 2010-

Friday, May 7, 2010

Binatang Kesayangan Demonstran

Paman Sam memanggilnya
Jauh menggema melintas benua
Tanggal juga skandal di baliknya
Meski meninggalkan berbagai tanya

Pergi lagi satu jenius dari negeri
Binatang kesayangan demonstran
Yang gambarnya diarak di sepanjang Senayan
Tuhan selamatkan satu lagi srikandi negeri

Monday, May 3, 2010

Stasiun Ke Sembilan

Di stasiun ke sembilan itu kuingat
Dimana aku bergesa menanti kedatanganmu
Menatap kerumunan dengan kosong
Sebelum kau membunyikan klakson yang membuyarkan lamunan

Di samping seng biru langit itu aku masih ingat
Ketika gerimis berintik pelan di ujung sepatu
dan membentuk sebuah becek
Mengingatkan hujan sudah lama berlalu dan aku masih menunggu

Seturunnya dari kereta aku membuang pandangan
tepat ke ujung kiri, menanti sosokmu

Lalu aku ingat itu semua hanya cerita lama

Betapa Hidup Penuh Nestapa

Layar kembali terbentang
Nafas siap mengarung hari
Setiap jiwa pasti akan dapat giliran
Menjalani terjal hidup di bumi

Tuhan setia menyaksi
Mendengar keluh kesah manusia
Manusia bertatap dengan-Nya di malam dan pagi
Menyuarakan betapa hidup penuh nestapa

Saturday, May 1, 2010

Rembulan, aku, kita sama kesepian

Rembulan kurasa tersenyum melihat kesendirianku
"Akhirnya bukan aku saja yang merasakan kesepian"
Dan tawanya membahana ke penjuru semesta
Seolah membangunkan senyap yang tertidur lelap

Wednesday, April 28, 2010

Dunia Sudah Tua

Tapi aku masih ingin berkeluh kesah
Tentang panas ini, yang mengikat lajur urat
Inilah kita yang sedang berlari di ujung zaman
Dunia sudah tua

Oksigen Disita

Tuhan menyapu alam
Surya menunduk ke bumi
Oksigen layaknya disita
Ini demi kepentingan siapa?

Sunday, April 25, 2010

Keadilan di Masa Depan

Dan suatu pagi anak-anak Indonesia tidak lagi menanyakan susu ke ibunya
Juga merengek minta mainan ke ayah saat akhir pekan
Mereka hanya bertanya
'Masihkah keadilan berdiri tegak untukku?'

Tuesday, April 20, 2010

Pagi Pukul 4

Pagi pukul 4
Semua lampu tersisa 5 watt
Banyak mata dan nyawa masih terjaga
Menjelajah sepi bersama

Cinta tiada tara
Untuk sepakbola

Sunday, April 11, 2010

Titipan Rinduku

Kalau saja kita tiada lagi bertatap muka
Aku telah titipkan rinduku pada sang surya
Yang setia menyapa kala pagi datang menyapih
Dan bilang padanya, terima kasih

Ya, mungkin

Tak banyak yang kutahu mengenai cinta
Kudengar itu hanya romantika belaka
Aku pernah dengar tentang rasa
Mungkin lebih dari sekedar kata

Dari hembusan angin yang tiada beraroma
Namun sejuknya menjalar ke sekujur raga
Dan mungkin itu cinta
Ya, mungkin


Dilema

Satu jam sudah waktu bergulir. Aku masih bimbang, masih belum bergerak, belum beranjak. Betapa aku teringat suaramu yang terdengar begitu naik pitam mendengar alasan-alasanku yang masih belum dapat kau terima. Belum lagi alismu yang siap setiap saat menjadi sinis, dan langsung menutup pergerakan otakku untuk mencari kata-kata. Maafkan aku. Aku begitu menyesal mempunyai perangai yang lemah seperti ini, yang begitu mudah mengalah pada hal-hal yang sebetulnya aku mempunyai kekuatan untuk mengalahkannya, namun saja aku tidak mau.

Entah apa aku ini. Entah apa yang akan kau hadirkan untuk tetap menganggapku sebagai seorang yang berharga bagimu. (Itupun kalau aku benar berharga bagimu)

Thursday, April 8, 2010

Hadiah!

Mendung, gelap, rintik gerimis terasa sadis, otakku mengepal, semua seragam. Tiada yang lebih baik dari hadiah yang mengejutkan, seperti kehadiranmu yang tiba-tiba.

Senja 5.08

Senja pukul 5.08
Hujan datang menyapa
Dan mulai bertanya
Ada apa, tanyanya

Aku berujar,"Maukah kau bertatap muka denganku lebih lama?"

Wednesday, April 7, 2010

Markus

Disana sini geger
"Ada markus, ada maling, ada penjahat"
Pandanganku hanya satu
Mengapa hal ini yang harus jadi penghalangku?

Aku dan Malam

Bulan datang menerawang
Awan naik mengabu
Malam menyerang
Sepi menyerbu

Masih adakah nyawa-nyawa berserakan
Untuk kujadikan kawan?

Sunday, April 4, 2010

Daerahku

Bertahun-tahun aku hidup di daerah ini. Revolusi ternyata berjalan cepat. Dulu, dalam satu langkah aku dapat bertemu dengan rumah tua, biasanya rumah pensiunan pegawai negeri, seperti halnya ayahku. Jalan raya yang dulu sepi cahaya, kini penuh sesak dengan sorot lampu yang silau. Swalayan tua di tepi perempatan jalan itu kini tidak berdaya. Ditinggalkan pelanggan karena kalah modern memang menyakitkan, terlebih yg modern hanya berjarak satu blok dari perempatan.

Restoran bebek bersaing, lambangnya sama-sama berwarna kuning. Cempaka Putih kini telah jauh berumur,tapi makin cantik dan mempersolek diri.

Minggu Berduka

Ketika mataku terbuka
Senja telah menjaga
Matahari bersiap meninggalkan hari Minggu penuh duka
Tiada lagi ceria untuk dicerna

Friday, April 2, 2010

Gelak Tawa

Lewati hidupmu dengan gelak tawa dan lawak
Biarkan harimu digerogoti terbahak
HAHAHAHA
Apakah kau sudah merasa lebih baik?

Jika sudah, ulangi
Sekali lagi, lagi, lagi, lagi

Dunia Menuju Barat

Bumi makin panas
Langkahnya terasa begitu berat
Pikiran-pikiran manusia begitu terbatas
Terlebih pada hal-hal yang dianggap melewati sekat

Dunia semakin sempit
Manusia selalu bergegas ke arah barat
Kini, kiblat berpindah ke kiri sedikit
Atau mungkin banyak? Sehingga tak terjangkau mata kasat

Balon Udara

Balon udara membumbung tinggi
Menyentuh cakrawala
Membuka tabir rahasia Ilahi
Langit itu luas, terbuka, mengapa harus kita seragamkan pikiran kita?

Monday, March 29, 2010

Udara Malam

Sudah lama aku tidak dicekok udara malam
Angin terbang, berhembus kencang
Udara malam yang dingin, membuat aku suram
Melihat segala bias cahaya terasa pengang

Mata manusia sinis, datar dan lantang
Menatap sekitar seperti terlihat lapar
Becek bergenang dengan tenang
Namun, manusia dengan satu langkah membuatnya buyar

Tuesday, March 16, 2010

Rinduku Pada Hujan

Hujan, hujan
Sini-sini datang padaku
Rinduku akan hadirmu kawan
Berikan aku pelukan lamamu

Semua terasa hangat
Kecuali nafasmu yang terdengar tergesa
Hendak kemana engkau sahabat?
Bukankah waktumu tiada tersisa untuk hal-hal yang fana?

Thursday, March 4, 2010

Sembuhkanlah Aku Tuhan

Hujan memberiku pengharapan
Akan saraf-saraf yang menjalar dengan mapan
Ia berujar pelan
"Kau masih punya waktu, meski itu kehendak Tuhan"

Monday, March 1, 2010

Di Pihak Manakah Aku?

Batinku bertanya, "Masihkah ada api arogan dalam jiwaku?"
Selama itu baik, mungkin, aku akan pertahankan
Sebab aku hanya jadi pengikut nafas-nafas yang tak terkendali
Merusak, penghancur pikiran-pikiranku yang masih biru

Terasa betul derap langkah prajurit
Yang berdegup kencang dalam kalbu
Mencoba membantah akal-akal tanpa dasar
Tanpa pertimbangan

Batinku terus bertanya, "Tersediakah untukku tempat untuk berorasi?"
Mengutarakan kekalahan terlihat begitu lemah
Bagiku, setidaknya
Dan akan lebih baik mengurungkan bendera putih
Lambaian Jepang atas bangsa Indonesia 60 tahun silam
Tapi, aku bukan Jepang
Tidak pula Indonesia

Aku tidak menang
Tidak jua kalah

Melodi Lobi

Melodi-melodi lobi masih hangat
Bergejolak matang seperti air mendidih
Presiden bertanggung jawab kepada rakyat
Rakyat berceloteh ini-itu memilih

Akhir Cerita Pansus

Di pagi hari
Hari paling menentukan dalam 2 bulan
Akhir cerita gono-gini
Harta negara mau kemana dilarikan

Semua kekuatan bergerak ke pusat
Ganyang! Ganyang!
Teriak mereka lantang, hebat
Menggugah pemirsa dengan sekali terjang

Panorama politik jadi selimut ibukota
Yang longsor sementara ditunda
Padahal ribuan mulut ternganga
Adakah mereka membuka mata?

Anjing menggonggong kafilah berlalu
Lewat begitu saja

Hujan Di 1 Maret

Hari pertama di bulan ketiga
Dua belas lamanya kita menunggu semua bulan datang berurutan
6 bulan kemarau di selingan senja
6 bulan lagi hujan mengguyur dengan sekali hentakan

Namun, di hari pertama bulan ketiga tahun ini
Hujan terlihat begitu serius

Wednesday, February 24, 2010

Senayan

Di gedung sana berdegup kencang negosiasi
Rakyat jelata gegap gempita memberi aspirasi
"Dimana keadilan, dimana keseimbangan?"
Yang duduk dengan tenang hanya mengorok pelan

Derap kaki mahasiswa
Mengguncang tegak dagu mereka
Disana, disana
Kita akan berjaya

Demokrasi itu terbentang
Yang bernyawa bebas berkata lantang
Atau justru jadi bumerang
Yang lurus justru dikekang

Sunday, February 21, 2010

Seberangan?

Tinggi-Mu, rendahku
Agung-Mu, hinaku
Besar-Mu, kecilku
Sempurna-Mu, cacatku

Apakah kita memang dan harus untuk terus berseberangan?

Wednesday, February 17, 2010

Rinduku

Rinduku sedang tinggi mengapung
Melewati mega yang tengah mendung
Berpikir tentangmu
Aktifitas yang merobohkan cinta-cintamu

Apakah kau memikirkan ku juga?
Benakku mencari-cari rasa
Apakah kau masih ada?
Masih terjaga?

Cerita kita
Masih berputar
Menyimpul sebuah makna
Akankah kita tetap pada satu lingkar?

Tuesday, February 16, 2010

Asing

Mataku melihat dunia begitu jenaka
Aku, asing
Segala yang kudengar kedap suara
Tiada bising

Orang tidak mengenaliku
Atau memang aku yang tiada membuka diri?
Orang tiada tahu siapa aku
Atau memang mereka yang mati suri?

16 Februari

Sudah biasa ini
Di bulan kedua kau menjadi tua
Tiap tahun ia acap menanti
Menunggu satu lagi tirai terbuka

16 Februari
Selalu datang dengan gelombang
Entah itu dari aku atau dari mana
Mencari-cari mangsa yang tidak bernama

Dan sudah kubilang
Ia akan datang
Mendekat dan semakin rapat
Adakah yang bisa menahan dengan kuat?

Akhirnya ia mendekapmu
Halus
Tiada terperi olehmu
Ia akan memainkan peran protagonis

Subuh di Jakarta

Berduyun-duyun saat ufuk bergelora
Mendengar deru kencang akan euforia
Kota yang tidak pernah padam
Terjebak dalam kelam temaram

Itu masih pagi
Tapi aku sudah bergegas pergi
Beradu siku atau jalan
Berpacu dengan waktu, juga kepentingan

Lihat, ibu-ibu tua meminta
Sesuap nasi jauh berharga
Lihat, tukang parkir berjaga
Meski izin tiada ia punya

Jakarta
Subuhmu seharusnya bisa lebih lega

Thursday, February 4, 2010

Terik Sang Surya

Berjemur pada terik surya
Melipat tangan di atas pelipis
Mengernyit sempit mata
Berjalan sedikit, seiris

Di tampuk matahari
Jutaan hitungan fisika mutakhir
Kalkulasi modern hingga kuasa Ilahi
Panas, keras, dan hidup memang penuh getir

Sunday, January 10, 2010

Terpisah

Aku dan kamu, terpisah
Jauh dari peradaban khalayak
Tapi aku dengar desah
Tangismu terasa dekat dan tiada berjarak

Jauh di sudut itu
Aku ingin gebrak rindu
Sehingga tiada jarak, tiada sekat
Antara aku, kamu hanya ada dekap dan dekat

Sunday, January 3, 2010

Oh Manis

Kuharap aku masih sadar
Meski tubuhku hangat penuh getar
Mengingat senyum indahmu semalam
Membuat hatiku lebam

Engkau sungguh indah, lagi manis
Aku sayang kau, manis

Friday, January 1, 2010

Waktu Shubuh

Nyamuk hinggap lebih lama
Darah terhisap tiada guna
Detik hanya bergerak sedikit
Waktu Shubuh mendekat dan aku terhimpit

Awan

Dalam bisumu, merindu
Rata tubuhmu dengan olesan kadar tinggi
Tempatmu tak terjamah kaki meski beribu
Mungkin hanya teknologi dan manipulasi

Namun, selagi aku menyentuhmu
Jangan biarkan ada yang mengusik
Sebab, kaulah sandaran
Bagi ciptaan yang merindu

Ah aku tahu kau siapa
Awan

Peredam

Apa yang engkau tatap berubah menjadi dingin
Semua yang engkau lihat, dengan senang hati akan meleleh
Namun, jika tidak engkau lempar pandanganmu pada sekeliling
Aku akan terbuka menerimanya

Aku tahu, engkau tak sekejam itu
Atau memang aku yang punya kekuatan meredammu

Anjing

Anjing, gonggong lah aku
Keluarkan segenap nafas dan hentakkan padaku
Karena aku senang melihatmu bergairah
Berapi terengah-engah

Anjing, gonggong lah aku
Bukankah kau sudah menunggu momen ini?
Menyalurkan emosimu pada tempat yang tepat
Juga waktu yang datang dengan cepat

Anjing, engkau...
Ciptaan yang hina sekaligus fenomena