Friday, July 24, 2009

Hanya seorang hamba

Engkau, memang pantas disebut Maha Kaya
Saat ku lupa dengan janji kita
Untuk bertemu 5 kali sehari
Tidak sedikit pun kau merasa rugi

Engkau, memang pantas disebut Maha Besar
Saat dengan sombongnya aku merasa gahar
Kekuasaan-Mu tetap kokoh di atas segala layar
Tidak sejengkal pun kau Arsy-Mu bergetar

Engkau, memang pantas disebut Maha Mulia
Disaat hamba mu merasa sempurna
Dan menganggap kau tak ada
Engkau tetap tinggi di singgasana

Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Betapa aku ini hamba-Mu yang berlumur hina
Tak punya aku rumus menghitung dosa
Berapa sholat yang telah terlupa

Saat aku dengan sengaja
Dan sadar
Melakukan zina
Engkau, tetap bersemayam dengan gelar Maha Pengampun

Tak lupa aku peristiwa itu
Dengan akal sehat
Tapi lupa seakan kau tak melihat
Sengaja aku berbohong dengan sejawat

Engkau, Ya Allah
Azza Wa Jalla
Seolah aku lupa dengan-Mu
Begitu godaan meraba

Astaghfirullahalaziim

Iba atau Harta?

Seorang tante untukku
Padahal tak ada sejengkal pun kita ada hubungan
Baik ia di depan ibuku
Gelombang wajahnya penuh kepastian

Hampir tiap malam ia tidur di kasurku
Ikhlas aku untuk itu
Bahkan tak sadar ia dengan kedudukannya
Enak saja suka main perintah

Tiap datang ke ibuku pasang juga itu muka melas
Tak peduli kalau kantong ibuku diperas
Ikhlas ibuku untuk itu
Tak minta kembalian pula ibuku

Hingga saat tante ini hilang masa jayanya
Kulihat jalannya pelan
Kadang menyewa pembantu untuk melakukannya
Sekeliling terlihat kasihan

Aku dan keluargaku tak lupa dengan tagihannya
Tapi, luluh jua karang hati oleh iba
Duit tiga juta apalah namanya
Kalau sudah lihat orang sakit hilang jua

Tuesday, July 21, 2009

Mimpi yang hanya tinggal mimpi

Ku sudah bayangkan akan gunakan baju kalian
Yang dipakai tahun 1998
Hitam warnanya
Jarang pasti yang punya

Ku sudah bayangkan melihat gocekanmu
Tendanganmu, Roo
Gocekanmu, Nani
Sundulanmu, Berba

Apalagi jika kusaksikan kalian latihan
Minggu pagi di Senayan
Jutaan pasang mata menyaksikan
Kalian unjuk kebolehan

Pasti akan kubawa kamera
Kuabadikan muka-muka kalian
Muka-muka Eropa, Afrika, Asia
Ganteng dan menawan

Sayang, dan seribu kali untuk itu
Terlalu banyak pengecut di negeri ini
Semoga Tuhan membalas perbuatanmu
Tanggung jawab-lah kau pada jutaan mimpi

Air Mata Awan

Kulihat daun bergoyang
Memperlihatkan tubuh molek
Mata awan berkaca-kaca
Seakan ia bersedih

Aduh, musik akustik memanjakan telinga
Petikan gitar tiada tara
Sekali lagi daun masih asik bergoyang

Menangislah, awan
Aku rindu air mata mu
Hari ini saja
Beberapa jam saja


Saturday, July 18, 2009

Kuningan, 17 Juli 2009

Saat lonceng kematian digoyang
Kemudian yang lain terhenyak
Saat bala tak dapat ditentang
Kemudian banyak yang mencari riak

Disana-sini mulai berspekulasi
Ada yang mengidentifikasi
Ini itu simpang siur
Semua pandangan kabur

Aman tak jadi jaminan
Kini semua ketakutan
Ragu untuk berbuat
Semua cari-cari juru selamat

Pagi cerah penuh darah
Bersimbah
Semua bermuara pada marah
Negeri ini sekejap luluh lantah

Untung si tamu agung belum kunjung datang
Bisa heran satu dunia nanti
Melihat berita pada tercengang
Belum lagi jika disebut satu negeri ini

Yang berduka
Belum berkirim bunga
Yang bersedih
Masih merasa perih

Trauma si satpam
Belum juga hilang terhapus
Datang pula kembali masa kelam
Dengan cepat menghunus

Sampai kapan kita menunggu
Mungkin seribu
Sampai mereka percaya
Negara kita memang benar aman adanya



Thursday, July 16, 2009

Melbourne, Australia

1996 dan 1998
Dulu
Saat bertetangga terasa harmonis
Dan kini
Sekarang
Cengkrama pun mulai terasa amis

Andai aku diberi waktu dulu
Aku berjanji! Pasti akan kembali
Tapi sayang saat itu ibu yang punya kuasa
Dan aku hanya bocah yang belum membuka mata

Kota yang ditata dengan sahaja
Dibangun dengan kerjasama
Alamak, ini baru surga
Begitu kata orang Indonesia

Kala itu di Melbourne, Australia
Terima kasih Tuhan
Kau tak format ulang memori ini
Sehingga aku masih bisa berbagi





Stasiun Juanda

Kala matahari mulai menuju singgasananya
Banyak yang mengibaskan baju
Sesaat peluh keringat makin bergelora
Tidak sadar dirinya menyebar malu

Ada yang berjalan menyusuri pengembara
Sembari terlunta
Mungkin bersandiwara
Terlihat dari air mukanya

Ada juga yang menjaja
Kertas warta jadi harta yang berharga
Mereka itu yang berhati baja
Semua untuk keluarga

Mereka yang telah dikeroyoki waktu
Menjerit dalam hatinya
Melirik matanya
Bertanya pada sesama

Kala kesabaran tak lagi jadi raja
Mulai lumer tergerus rasa
Gelisah menjadi penunggu kalbu
Menanti dipercepatnya waktu

Tuesday, July 14, 2009

Malam

Saat rembulan menampakkan batang hidungnya
Ada yang mengucapkan sampai jumpa
Tapi anjing dan serigala berkata lain
Mereka senang atas kehadirannya

Ada kalanya kita berhutang pada matahari
Karena kita pakai jatahnya untuk menjaga
Dan aku minta maaf atas itu

Banyak yang telah gugur
Setidaknya keberuntungan ada di sisinya
Karena mereka akan tetap terjaga hingga rembulan kembali tiba

Kini di malam yang penuh semburan angin teknologi
Dan aku hanya berselimut kain
Aku rela
Untuk tetap membuka mata
Hanya untuk melihatmu terjaga


Monday, July 13, 2009

Bosan dengan Tuhan

Entah berapa banyak kata yang aku tulis untukmu, Tuhan
Permintaanku hanya satu
Berikan aku nafas
Untuk hari ini
Esok
Dan seterusnya
Sampai di suatu hari
Aku sadar aku ini milikmu

Untuk Apa

Banyak yang bertanya, "Untuk apa kau menulis?"
"Lebih baik kau jadi konsultan"
"Atau dokter yang hatinya"
"Atau pengacara yang kaya raya"

Ini aku
Yang menulis bukan untuk uang
Tapi untuk senang

Kranji, sebuah kota

Aku yang bergegas
Menghindari deru gas
Yang semakin membabi buta

Hanya ada aku dan rasa dingin
Melewati Jakarta di pagi hari
Kota ini terasa seperti sedang winter
Tapi itu hanya percik khayal dalam otakku

Semoga kita yang berangkat dari jauh
Tidak merasa hampa dan sia-sia
Karena tiap perjuangan
Tentu punya kenangan