Tuesday, July 27, 2010

Antara Bintaro dan Jakarta

Stasiun Manggarai adalah tempat yang begitu kukenal. Salah satu stasiun yang memiliki aktifitas terpadat di lalu lintas perkeretaapian ibukota negara. Aku terbiasa melintasi stasiun ini pada bulan-bulan perkuliahanku berlangsung, yakni antara Februari hingga Mei dan September hingga Desember, karena memang jalur yang kulewati adalah Jakarta - Pasar Minggu - Depok.

Aku memang telah fasih akan jalur Jakarta - Pasar Minggu -Depok, namun ketika aku hendak menggunakan jalur lain, yakni semisal Tanah Abang atau Jatinegara atau mungkin Bekasi, belum pernah sekalipun aku merasakan berada di atas kereta yang membawa ke jalur-jalur lain tersebut. Tujuanku hari itu adalah jurusan Serpong. Namun, sesampainya di stasiun aku hanya mampu tertegun karena ternyata aku datang di jam yang salah. Pasalnya, kereta untuk jurusan Serpong mempunyai waktu keberangkatan tertentu dan hanya beberapa kereta yang berangkat ke arah sana. Pukul 10.00 kala itu, dan kereta pertama hari itu telah berangkat pukul 07.30, sedangkan kereta berikutnya akan melayani perjalanan penumpang pada pukul 13.00. Miris.

Setelah lama berdebat dengan penjual karcis, kuputuskan untuk membeli tiket kereta ekonomi AC jurusan Tanah Abang, yang kemudian dari sana aku dapat melanjutkan perjalananku ke Serpong. Kereta itu akan tiba pada pukul sebelas kurang, penjual karcis itu menambahkan sebelum aku hendak berpaling dari loket karcis. Maka waktu yang hampir 60 menit itu aku gunakan untuk membaca buku Kahlil Gibran yang berjudul Jiwa-Jiwa Pemberontak. Sebuah buku pemberian temanku. Karena gaya penulisannya yang begitu berat menurutku, aku hanya membacanya setiap 5 menit, lalu di waktu-waktu aku membiarkan buku itu melongo, aku melihat sekelilingku. Pemandangan yang tidak pernah berubah, ujarku dalam hati. Telah 2 tahun lamanya aku menghabiskan waktu melewati stasiun Manggarai yang memiliki total 6 peron, namun aku tidak pernah melihat berkurangnya jumlah pedagang asongan yang berjualan di sekitar stasiun. Hidup di ibukota memang sulit, terlebih menghidupi sanak keluarga.

Setelah 60 menit berlalu, kereta jurusan Tanah Abang yang dijanjikan datang oleh petugas penjual karcis akhirnya datang juga. Karena ragu, aku putuskan untuk bertanya kepada salah satu bapak penumpang yang kebetulan bergelantungan di pintu kereta sesaat kereta berhenti. "Apakah benar ini kereta jurusan Tanah Abang?", tanyaku. Setelah bapak tersebut mengiyakan pertanyaanku, maka aku segera mengambil tempat duduk di samping seorang petugas pengawas kereta, sehingga aku dapat lebih menggali informasi mengenai kereta. Bapak penumpang yang aku tanyakan itu ternyata ramah juga, ia menawariku permen karet. Lumayan juga, pikirku, yang sedang dilanda tegang bukan main karena ini adalah perjalanan pertamaku menggunakan kereta ke Tanah Abang. Sekitar 20 menit kereta itu mencapai tujuan. Sesampainya di Tanah Abang, aku diberitahu oleh bapak tadi untuk segera mungkin menggunakan kereta ekonomi yang terlihat di peron seberang, karena kereta itu akan segera berangkat menuju Serpong. Lalu aku melompati 2 peron layaknya seorang Yamakasi hingga sampai di kereta ekonomi yang kulihat masih sepi penumpangnya.

Aku berbincang dengan seorang penjaja koran. Ia terlihat bersahabat, ujarku dalam hati. Aku putuskan untuk membeli harian olahraga yang sebetulnya aku pun sudah tahu segala berita yang tertulis di koran tersebut, aku membeli korannya dengan maksud menggali informasi mengenai tujuanku. Menurut informasi dari temanku, aku harus turun di stasiun Pondok Ranji jika ingin mencapai sektor 3 Bintaro lebih dekat. Hanya 4 stasiun sejak kereta itu bertolak dari Tanah Abang, aku sudah mendarat di stasiun Pondok Ranji. Stasiun yang aneh. Kuperkirakan stasiun ini hanyalah stasiun bayangan, sebab bangunannya yang begitu amburadul, dapat aku katakan, jarak yang terlalu sempit antara kereta dengan peron membuat aku semakin tidak yakin apakah aku telah berhenti di stasiun yang benar. Setelah membuang pandanganku ke penjuru stasiun akhirnya aku menemukann plang bertuliskan "Pondok Ranji" yang terlihat begitu kusam namun tetap dapat terlihat.

Aku melanjutkan perjalanan "yang sesungguhnya". Inilah pertama kalinya aku menjejakkan kaki di Bintaro, kota yang banyak dibilang sebagai kota metropolitan tersendiri. Aku rasa ketika itu udara sedang pada puncaknya, hingga aku harus mengeluarkan sepotong handuk dari tasku untuk mengusap derasnya air keringat. Aku berkelana mencari alamat rumah yang kutuju, menyusuri teriknya Bintaro sebatang kara, sesekali aku berhenti membeli minuman ringan di pedagang asongan yang berjualan di sepanjang jalan raya. Aku terus mengitari alamat yang hendak kutuju hingga menghabiskan waktu untuk tersasar ke arah sebaliknya. Jika bukan karena cinta, tidak akan kuperjuangkan hingga sejauh ini, aku sempat mengeluh di dalam hati.

Hampir 20 menit kuhabiskan untuk berputar-putar di arah yang sama, hingga aku harus meneleponnya untuk memastikan langkah yang aku ambil berikutnya tidak salah. Tujuan itu hampir sampai, ketika aku bertanya kepada seorang security di perempatan jalan, jawabannya meyakinkan, ujarku dalam hati. "Ikuti ujung jalan ini, setelah itu belok kanan, jika bertemu perempatan, beloklah ke kiri", security itu menjelaskan dengan jelas dan detil, sehingga tidak sampai 10 menit aku telah berada di tujuanku. Sebelumnya aku belum jelaskan. Tujuanku menjangkau jarak sejauh ini adalah aku ingin menjumpai seorang wanita, atau lebih cocok disebut dengan gadis. Ya, gadis ini adalah teman lamaku, seorang gadis yang baru saja menanggalkan masa-masa indahnya duduk di sekolah menengah atas, dan akan melanjutkan kuliahnya di perguruan tinggi di kota pelajar, Yogyakarta. Sekitar 1 bulan terakhir kita berhubungan dengan intensif, kita saling memberi kabar satu sama lain, hampir dikatakan berhubungan dengannya adalah bagian dari rutinitasku. Hari itu aku menyambangi rumahnya, hal yang membuat bulu kuduku merinding, yang selalu membuat aliran darah ke jantung semakin cepat adalah bertemu dengannya, entah mengapa. Aku menunggunya keluar sampai 5 atau menit. Sejenak aku duduk di bawah pohon, setelah berkutat dengan lika-liku jalan yang membingunganku, akhirnya untuk beberapa saat aku dapat merenggangkan otot-otot.

Hari itu, mungkin adalah hari yang segalanya terjadi di luar dugaan. Bahkan, aku pun masih belum percaya aku mampu meraih jarak yang begitu panjang terbentang dari Jakarta hingga Bintaro. Seakan aku telah bergerak tanpa tedeng aling. Lalu tak lama kau muncul dari balik pagar rumahmu membukakan pintu masuk untukku.

Selebihnya, hal-hal yang terjadi antara aku dengannya biarlah menjadi rahasia. Bukan berarti aku melakukan hal-hal yang seronok, tapi aku ingin menjaga cerita antara aku dengannya berada di tempat yang seharusnya. Aku akhirnya bertolak meninggalkan sejuta perasaan grogi dari rumah itu, meninggalkan ribuan senyum dan kebahagiaan yang aku habiskan dengannya. Tidak pernah terhenti bibirku melukiskan senyum. Jantungku pun belum jua berhenti bergemuruh mengingat hal-hal yang aku lewatkan dengannya. Perjuanganku mendapatkan bayaran yang setimpal, aku pulang ke Jakarta dengan membawa cinta...

2 comments: