Tuesday, October 27, 2009

28 Oktober 2009

Aku tidak munafik
Hari-hariku diisi dengan hal-hal yang luntur akan nasionalisme
Padahal, 81 tahun lalu
Pemuda yang kala itu tertimbun
Jauh di pedalaman zaman penjajahan
Sudah lantang
Dengan keras menyuarakan kobaran api pembakar rasa
Kepada seluruh pelosok zamrud khatulistiwa

Mungkin sumpah itu sudah terlalu uzur
Pemuda kini sudah terlalu berlagak
Akan segala hal yang berbau western
Itu yang mereka anggap sakral


Brighton

Suatu hari, di kota Brighton
2 pemuda berjalan beriringan, bersahutan langkahnya
Lurus menuju tengah kota yang sesak penuh
Sudah jengah mata ini memandangnya

Rokok Club berbungkus biru
Yang harganya puluhan poundsterling itu terasa segarkan tenggorokan
Kata orang itu penyebab penyakit
Lalu apa peduli mereka?

Pengamen yang duduk sila
Sambil gesek-gesek biola di pundak
Jadi tempat mereka menuangkan rezeki
Berbagi dengan para marjinal

Langkahnya belum juga melambat
Justru dipercepat
Ah aku tahu
Mereka ini mengejar kereta ke London

Dasar anak muda


Koneksi

Aku ingin menyambungkan koneksi-koneksi yang lama terputus. Itu saja. Ah bodohnya aku

Tuesday, October 13, 2009

Kekal?

Sayangku, kita akan hidup bersama
Kekal dalam canda tawa yang kita hamburkan
Kekal dalam janji-janji yang kita pegang teguh
Aku harap ini bukan hanya doa...

Berlebihan kah aku?

Ibukota Kita

Ibukota kita
Terlalu tua untuk dimaki
Disuap-suapi terpaksa
Oleh asap-asap hina dina

Jalannya
Aspal, bukan berarti kebal

Rakyatnya
Banyak, dan tidakkah kau merasa ibukota ini sudah terlalu sesak?

Tepi Danau

Hutan pinus, cemara tinggi menjulang
Berjalan aku menyisir tepi danau
Air tenang berdiam pada tempat selaras
Dengan riak yang tertimbun dalam segala kesunyian

Aku ingat
Nada-nada sejuk mengalun pelan
Melinting senyum di samping pipi gembul
Dan, untuk sejenak aku sedang berkhayal

Musik itu
Dicampur, diaduk, dan dinikmati
Dengan segala anugerah hayati
Nikmatnya tiada padam, terlebih mati

Panorama itu
Terlalu sempurna untuk dipublikasikan, sayang

Friday, October 9, 2009

Nyawa Baru

Jalan setapak itu
Terlepas sudah aku dari itu
Dan, selangkah aku pijakkan telapak
Tirai baru datang terbelalak
Berhembus angin cepat menyalak
Aku bersulang menyambut segala semarak

Walau diselingi sedikit kegelisahan
Pergeseran pemikiran ke memoar-memoar merekah
Aku kini datang dengan nyawa baru
Bertambah lagi nyawa di genggam dalam erat pembuluh darah

Thursday, October 8, 2009

Suatu Malam di Stasiun Tebet

Di stasiun ke 9 itu aku turun
Utara masih jadi tujuan bersandar

Jaket merah itu
Merekat lekat seperti warnanya
Dingin betul malam itu Jakarta
Musim kemarau tiada jenuh pergi berlalu

Mucikari sudah keluar dari sarang
Silih berganti menjaja diri

Sudah hampir mendekati jam 9 malam
Belum selesai kereta arah selatan bergegas
Secercah cahaya menjelang
Yang kutunggu datang