Dari kejauhan ia tersenyum. Meski memiliki segenap kekuatan untuk mencegahnya, ia tidak memulai melakukannya. Ia belum beranjak, meski aku tahu matanya masih terbelalak dan jantungnya tiada akan pernah berhenti berdetak. Ada apa? Ia telah memiliki segalanya, tapi ia belum juga mengambil tindakan untuk mencegah hiruk pikuk di sudut kota itu. Bukan rahasia lagi, sosoknya yang dingin telah memberi pandangan negatif bagi sekitar. Sombong, angkuh, tidak peka, dan kata-kata cacian lain yang sesungguhnya tidak memberi efek apa-apa untuknya. Sekali lagi, ia memiliki segalanya. Entah apa yang membuatnya tidak melakukan gerakan atau tindakan atau bahkan jika dibutuhkan, bantuan untuk membantu pekikan massa yang sudah sejak tadi merongrong di tepian kota.
Nafas - nafas itu hampir habis ketika ia (akhirnya) memberi bantuan kepada massa yang telah sejak lama menantikannya. "Apa yang ada di pikiranmu sehingga engkau baru tergerak di kala urat di leher dan kening kami mengencang? Apa?", begitu kira - kira teriakan dari seorang yang menganggap dirinya sesepuh di kota yang tengah dirundung bala tersebut. Seperti biasa, ia hanya tersenyum, memandang dingin yang terjadi, meski situasinya menuntut ia berbuat dari sekedar itu. Itulah dia, yang begitu adanya, siapa yang bisa merubah pendirian seseorang.
Situasi semakin keos, massa semakin menuntutnya berbuat sesuatu yang sekiranya mampu memberi efek tenang bagi mereka. Ia sekali lagi merunduk untuk memberi secercah harapan bagi massa yang sudah di ambang derita. Entah ada angin apa yang membuatnya berbuat demikian, tapi yang jelas ini sangat melegakan, begitu melegakan, terasa betul kali ini apa yang ia perbuat mampu menenangkan keadaan. Semua menghela nafas lega. Hiruk pikuk, euforia, haru biru berbaur, berintegrasi.
Ia masih tersenyum. Singgasananya tiada bergeming sedikit pun. Sudah kukatakan, ia memiliki segalanya. "Beginilah caraku bekerja."